Nama : Inesya Maulidya Putri
NPM : 23211631
Kelas : 2EB04
PENDAHULUAN
A. LATAR
BELAKANG
Hukum
adalah sebuah aturan yang dibuat oleh manusia untuk membatasi tingkah laku
manusia agar dapat terkontrol. Hukum adalah aspek terpenting dalam pelaksanaan
atas rangkaian kekuasaan kelembagaan. Hukum mempunyai tugas untuk menjamin
adanya kepastian hukum dalam masyarakat. Oleh karena itu setiap masyarakat
berhak untu mendapat pembelaan didepan hukum sehingga dapat diartikan bahwa
hukum adalah peraturan tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur kehidupan
masyarakat dan menyediakan sangsi bagi pelanggarnya.
B. TUJUAN
Tujuan
hukum mempunyai sifat universal seperti ketertiban, ketentraman, kedamaian,
kesejahteraan dan kebahagiaan dalam tata kehidupan bermasyarakat. Dengan adanya
hukum maka tiap perkara dapat diselesaikan melalui proses pengadilan dengan
perantara hakim berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku, selain itu hukum
bertujuan untuk menjaga dan mencegah agar setiap orang tidak dapat menjadi
hakim atas dirinya sendiri.
C. KERANGKA
PEMIKIRAN
|
|||
|
|||
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Hukum Perjanjian
Dalam
hukum asing dijumpai istilah overeenkomst (bahasa belanda), contact / agreement
(bahasa inggris) yang merupaka istilah yang dalam hukum kita kenal dengan
“kontrak” atau “perjanjian”. Umumnya dikatakan bahwa istilah – istilah tersebut
memiliki pengertian yang sama, sehingga tidak mengherankan apabila istilah
tersebut digunakan secara bergantian untuk menyebutkan suatu kontruksi hukum.
Pada
pasal 1313 KUHP merumuskan pengertian perjanjian adalah “suatu perbuatan
satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih”.
Namun
para ahli hukum mempunyai pendapat yang berbeda – beda mengenai pengertian
perjanjian.
a. Abdulkadir
Muhammad mengemukakan bahwa perjanjian adalah suatu persetujuan dengan dua
orang atau lebih saling mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu hal mengenai
harta kekayaan.
b. Menurut
J. Satrio perjanjian dapat memiliki dua arti, yaitu arti luas dan arti sempit,
dlam arti luas suatu perjanjian yang menimbulkan akibat hukum sebagai yang
dikehendaki oleh para pihak termasuk didalamnya perkawinan, perjanjian
perkawinan, dll. Dalam arti sempit perjanjian disini berarti hanya ditujukan
kepada hubungan – hubungan hukum dalam lapangan hukum kekayaan saja, seperti
yang dimaksud oleh buku III kitab undang – undang perdata.
B. Jenis –
Jenis Hukum Perjanjian
Tentang
jenis – jenis hukum perjanjian KUHP tidak secara khusus mengaturnya.
Penggolongan yang umum dikenal ialah penggolongan kedalam kontrak timbal balik
atau kontrak asas beban, dan kontrak sepihak atau kontrak tanpa beban atau
kontrak Cuma – Cuma.
Kontrak
timbal balik merupakan perjanjian yang didalamnya masing – masing pihak
menyandang status sebagai berhak dan berkewajiban atau sebagai kreditur dan
debitur secara timbal balik, kreditur pada pihak yang satu maka bagi pihak
lainnya adalah sebagai debitur, begitu juga sebaliknya.
Kontrak
sepihak merupakan perjanjian yang mewajibkan pihak yang satu untuk berprestasi
dan memberi hak pada yang lain untuk menerima prestasi. Contohnya perjanjian
pemberi kuasa dengan cuma – cuma, perjanjian pinjam pakai cuma – cuma,
perjanjian pinjam pengganti cuma – cuma, dan penitipan barang dengan cuma –
cuma.
Arti
penting pembedaan tersebut ialah:
Berkaitan
dengan aturan resiko, pada perjanjian sepihak resiko ada pada para kreditur,
sedangkan pada perjanjian timbale balik resiko ada pada debitur, kecuali pada
perjanjian jual beli.
Berkaitan
dengan perjanjian timbale balik selalu dipersengketakan. Jika suatu perjanjian
timbale balik saat pernyataan pailit baik oleh debitur maupun lawan janji tidak
dipenuhi seluruh atau sebagian dari padanya maka lawan janjinya berhak mensomir
BHP. Untuk jangka waktu 8 hari menyatakan apakah mereka mau mempertahankan
perjanjian tersebut.
Kontrak
menurut namanya dibedakan menjadi dua, yaitu kontrak bernama atau kontrak
nominat, dan kontrak tidak bernama atau innominat. Dalam buku III KUHP
tercantum bahwa kontrak bernama adalah kontrak jual beli, tukar menukar, sewa
menyewa, hibah, penitipan barang, pinjam pakai, pinjam meminjam, pemberi kuasa,
penanggung utang, perdamaian, dll. Sementara yang dimaksud dengan kontrak tidak
bernama adalah kontrak yang timbul, tumbuh, dan berkembang dalam masyarakat.
Jenis kontrak ini belum tercantum dalam kitab hukum – hukum perdata. Yang
termasuk dalam kontrak ini misalnya leasing, sewa-beli, keagenan, franchise,
kontrak rahim, joint venture, kontrak karya, production sharing.
Kontrak
menurut bentuknya dibedakan menjadi kontrak lisan dan kontrak tertulis. Kontrak
lisan adalah kontrak yang dibuat secara lisan tanpa dituangkan kedalam tulisan.
Kontrak – kontrak yang terdapat dalam buku III KUHP dapat dikatakan umumnya
merupakan kontrak lisan, kecuali yang disebut dalam pasal 1682 KUHP yaitu
kontrak hibah yang harus dilakukan dengan akta notaries.
Kontrak
tertulis adalah kontrak yang dituangkan dalam tulisan. Tulisan itu bisa dibuat
oleh pejabat, misalnya notaries. Didalam kontrak tertulis kesepakatan lisan
sebagaimana yang digambarkan oleh pasal 1320 KUHP, kemudian dituangkan dalam
tulisan.
C. Pelaksanaan
Hukum Perjanjian
Pengaturan
mengenai pelaksanaan kontrak dalam KUHP menjadi bagian dari pengaturan
tentang akibat suatu perjanjian, yaitu diatur dalam pasal 1338 sampai dengan
pasal 1341 KUHP. Pada umumnya dikatakan bahwa yang mempunyai tugas untuk
melaksanakan kontrak adalah mereka yang menjadi subjek dalam kontrak itu. Salah
satu pasal yang berhubungan langsung dengan pelaksanaannya ialah pasal 1338
ayat 3 yang berbunyi ”suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan etiket baik.”
Dari pasal tersebut terkesan bahwa untuk melaksanakan kontrak harus
mengindahkan etiket baik saja, dan asas etiket baik terkesan hanya terletak
pada fase atau berkaitan dengan pelaksanaan kontrak, tidak ada fase-fase
lainnya dalam proses pembentukan kontrak.
D. Asas Yang
Mengikat Dalam Pelaksanaan Hukum Perjanjian
Ada
beberapa azas yang dapat ditemukan dalam Hukum Perjanjian, namun ada dua
diantaranya yang merupakan azas terpenting dan karenanya perlu untuk diketahui,
yaitu:
1. Azas
Konsensualitas, yaitu bahwa suatu
perjanjian dan perikatan yang timbul telah lahir sejak detik tercapainya
kesepakatan, selama para pihak dalam perjanjian tidak menentukan lain. Azas ini
sesuai dengan ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata mengenai syarat-syarat sahnya
perjanjian.
2. Azas
Kebebasan Berkontrak, yaitu bahwa
para pihak dalam suatu perjanjian bebas untuk menentukan materi/isi dari
perjanjian sepanjang tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan dan
kepatutan. Azas ini tercermin jelas dalam Pasal 1338 KUH Perdata yang
menyatakan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah mengikat sebagai
undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
Hal-hal
yang mengikat dalam kaitan dengan pelaksanaan hukum perjanjian ialah :
1.
Segala
sesuatu yang menurut sifat kontrak diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan, dan
undang-undang.
2.
Hal-hal
yang menurut kebiasaan sesuatu yang diperjanjikan itu dapat menyingkirkan suatu
pasal undang-undang yang merupakan hukum pelengkap.
3.
Bila
suatu hal tidak diatur oleh/dalam undang-undang dan belum juga dalam kebiasaan
karena kemungkinan belum ada, tidak begitu banyak dihadapi dalam praktek, maka
harus diciptakan penyelesaiannya menurut/dengan berpedoman pada kepatutan.
Pelaksanaan
kontrak harus sesuai dengan asas kepatutan, pemberlakuan asas tersebut dalam
suatu kontrak mengandung dua fungsi, yaitu :
1.
Fungsi
melarang, artinya bahwa suatu kontrak yang bertentangan dengan asas kepatutan
itu dilarang atau tidak dapat dibenarkan, contoh : dilarang membuat kontrak
pinjam-meminjam uang dengan bunga yang amat tinggi, bunga yang amat tinggi
tersebut bertentangan dengan asas kepatutan.
2.
Fungsi
menambah, artinya suatu kontrak dapat ditambah dengan atau dilaksanakan dengan
asas kepatutan. Dalam hal ini kedudukan asas kepatutan adalah untuk mengisi
kekosongan dalam pelaksanaan suatu kontrak yang tanpa isian tersebut, maka
tujuan dibuatnya kontrak tidak akan tercapai.
Pembatalan
perjanjian yang menimbulkan kerugian
Pembelokan
pelaksanaan kontrak sehingga menimbulkan kerugian yang disebabkan oleh
kesalahan salah satu pihak konstruksi tersebut dikenal dengan sebutan wanprestasi atau ingkar
janji. Wanprestasi adalah tidak dilaksanakannya prestasi atau kewajiban
sebagaimana mestinya yang dibebankan oleh kontrak terhadap pihak-pihak tertentu
seperti yang disebutkan dalam kontrak.
Ada
tiga bentuk ingkar janji, yaitu :
1.
Tidak
memenuhi prestasi sama sekali
2.
Terlambat
memenuhi prestasi, dan
3.
Memenuhi
prestasi secara tidak sah
Akibat
munculnya wanprestasi ialah timbulnya hak pada pihak yang dirugikan untuk
menuntut penggantian kerugian yang dideritanya terhadap pihak yang wanprestasi.
Pihak yang wansprestasi memiliki kewajiban untuk membayar ganti rugi kepada
pihak yang menderita kerugian. Tuntutan pihak yang dirugikan terhadap pihak
yang menyebabkan kerugian berupa :
1.
Pemenuhan
perikatan
2.
Pemenuhan
perikatan dengan ganti rugi
3.
Ganti
rugi
4.
Pembatalan
persetujuan timbale balik, atau
5.
Pembatalan
dengan ganti rugi
E. Syarat-syarat
sah perjanjian
Suatu
kontrak dianggap sah (legal) dan mengikat, maka perjanjian tersebut harus
memenuhi syarat-syarat tertentu. Menurut ketentuan pasal 1320 KUHP Perdata, ada
empat syarat yang harus dipenuhi untuk sahnya suatu perjanjian, yaitu :
1.
Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya
Syarat
pertama merupakan awal dari terbentuknya perjanjian, yaitu adanya kesepakatan
antara para pihak tentang isi perjanjian yang akan mereka laksanakan. Oleh
karena itu timbulnya kata sepakat tidak boleh disebabkan oleh tiga hal, yaitu
adanya unsur paksaan, penipuan, dan kekeliruan. Apabila perjanjian tersebut
dibuat berdasarkan adanya paksaan dari salah satu pihak, maka perjanjian
tersebut dapat dibatalkan.
2.
Kecakapan untuk membuat suatu perikatan
Pada
saat penyusunan kontrak, para pihak khususnya manusia secara hukum telah dewasa
atau cakap berbuat atau belum dewasa tetapi ada walinya. Di dalam KUH Perdata
yang disebut pihak yang tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian adalah
orang-orang yang belum dewasa dan mereka yang berada dibawah pengampunan.
3.
Mengenai suatu hal tertentu
Secara
yuridis suatu perjanjian harus mengenai hal tertentu yang telah disetujui.
Suatu hal tertentu disini adalah objek perjanjian dan isi perjanjian. Setiap
perjanjian harus memiliki objek tertentu, jelas, dan tegas. Dalam perjanjian
penilaian, maka objek yang akan dinilai haruslah jelas dan ada, sehingga tidak
mengira-ngira.
4.
Suatu sebab yang halal
Setiap
perjanjian yang dibuat para pihak tidak boleh bertentangan dengan
undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan. Dalam akta perjanjian sebab
dari perjanjian dapat dilihat pada bagian setelah komparasi, dengan syarat
pertama dan kedua disebut syarat subjektif, yaitu syarat mengenai orang-orang
atau subjek hukum yang mengadakan perjanjian, apabila kedua syarat ini
dilanggar, maka perjanjian tersebut dapat diminta pembatalan. Juga syarat
ketiga dan keempat merupakan syarat objektif, yaitu mengenai objek perjanjian
dan isi perjanjian, apabila syarat tersebut dilanggar, maka perjanjian tersebut
batal demi hukum. Namun,apabila perjanjian telah memenuhi unsur-unsur sahnya
suatu perjanjian dan asas-asas perjanjian, maka perjanjian tersebut sah dan
dapat dijalankan.
Mengenai
kedewasaan Undang-undang menentukan sebagai berikut:
1. Menurut
Pasal 330 KUH Perdata: Kecakapan diukur bila para pihak yang membuat perjanjian
telah berumur 21 tahun atau kurang dari 21 tahun tetapi sudah menikah dan sehat
pikirannya.
2. Menurut
Pasal 7 Undang-undang No.1 tahun 1974 tertanggal 2 Januari 1974 tentang
Undang-Undang Perkawinan (“Undang-undang Perkawinan”): Kecakapan bagi
pria adalah bila telah mencapai umur 19 tahun, sedangkan bagi wanita apabila
telah mencapai umur 16 tahun.
· Mereka
yang berada di bawah pengampuan.
· Orang
perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh Undang-Undang (dengan berlakunya
Undang-Undang Perkawinan, ketentuan ini sudah tidak berlaku lagi).
· Semua
orang yang dilarang oleh Undang-Undang untuk membuat perjanjian-perjanjian
tertentu.
3. Mengenai
suatu hal tertentu, hal ini maksudnya adalah bahwa perjanjian
tersebut harus mengenai suatu obyek tertentu.
4. Suatu sebab
yang halal, yaitu isi dan tujuan suatu perjanjian haruslah
berdasarkan hal-hal yang tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan
dan ketertiban.
Syarat No.1 dan No.2 disebut dengan Syarat Subyektif,
karena mengenai orang-orangnya atau subyeknya yang mengadakan perjanjian,
sedangkan syarat No.3 dan No.4 disebut Syarat Obyektif, karena
mengenai obyek dari suatu perjanjian.
Apabila syarat subyektif tidak dapat terpenuhi, maka salah
satu pihak mempunyai hak untuk meminta supaya perjanjian itu dibatalkan. Pihak
yang dapat meminta pembatalan itu, adalah pihak yang tidak cakap atau pihak
yang memberikan sepakatnya (perizinannya) secara tidak bebas.
Jadi, perjanjian yang telah dibuat itu akan terus mengikat
kedua belah pihak yang mengadakan perjanjian, selama tidak dibatalkan (oleh
hakim) atas permintaan pihak yang berhak meminta pembatalan tersebut.
Sedangkan apabila syarat obyektif yang tidak terpenuhi, maka
perjanjian itu akan batal demi hukum. Artinya sejak semula tidak pernah
dilahirkan suatu perjanjian dan tidak pernah ada suatu perikatan.
F. Hapusnya
Perjanjian
Hapusnya suatu perjanjian yaitu dengan cara-cara sebagai
berikut:
1. Pembayaran
Adalah setiap pemenuhan hak dan kewajiban para pihak dalam
perjanjian secara sukarela. Berdasarkan pasal 1382 KUH Perdata
dimungkinkan menggantikan hak-hak seorang kreditur/berpiutang. Menggantikan
hak-hak seorang kreditur/berpiutang dinamakan subrogatie. Mengenai subrogatie
diatur dalam pasal 1400 sampai dengan 1403 KUH Perdata. Subrogatie dapat
terjadi karena pasal 1401 KUH Perdata dan karena Undang-undang (Pasal 1402
KUH Perdata).
2. Penawaran
pembayaran tunai diikuti oleh penyimpanan atau penitipan uang atau barang pada
Panitera Pengadilan Negeri
Adalah suatu cara pembayaran yang harus dilakukan apabila si
berpiutang (kreditur) menolak pembayaran utang dari debitur, setelah kreditur menolak
pembayaran, debitur dapat memohon kepada Pengadilan Negeri untuk mengesahkan
penawaran pembayaran itu yang diikuti dengan penyerahan uang atau barang
sebagai tanda pelunasan atas utang debitur kepada Panitera Pengadilan Negeri.
Setelah penawaran pembayaran itu disahkan oleh Pengadilan
Negeri, maka barang atau uang yang akan dibayarkan itu, disimpan atau
dititipkan kepada Panitera Pengadilan Negeri, dengan demikian hapuslah utang
piutang itu.
3. Pembaharuan
utang atau novasi
Adalah suatu pembuatan perjanjian baru yang menggantikan
suatu perjanjian lama. Menurut Pasal 1413 KUH Perdata ada 3 macam cara
melaksanakan suatu pembaharuan utang atau novasi, yaitu yang diganti debitur,
krediturnya (subyeknya) atau obyek dari perjanjian itu.
4. Perjumpaan
utang atau Kompensasi
Adalah suatu cara penghapusan/pelunasan utang dengan jalan
memperjumpakan atau memperhitungkan utang piutang secara timbal-balik antara
kreditur dan debitur. Jika debitur mempunyai suatu piutang pada kreditur,
sehingga antara debitur dan kreditur itu sama-sama berhak untuk menagih piutang
satu dengan lainnya.
Menurut pasal 1429 KUH Perdata, perjumpaan utang ini dapat
terjadi dengan tidak membedakan darimana sumber utang-piutang antara kedua
belah pihak itu telah terjadi, kecuali:
· Apabila
penghapusan/pelunasan itu dilakukan dengan cara yang berlawanan dengan hukum.
· Apabila
dituntutnya pengembalian barang sesuatu yang dititipkan atau dipinjamkan.
· Terdapat
sesuatu utang yang bersumber pada tunjangan nafkah yang telah dinyatakan tak
dapat disita (alimentasi).
5. Percampuran
utang
Adalah apabila kedudukan sebagai orang berpiutang (kreditur)
dan orang berutang (debitur) berkumpul pada satu orang, maka terjadilah demi
hukum suatu percampuran utang dengan mana utang-piutang itu dihapuskan,
misalnya: debitur menikah dengan krediturnya, atau debitur ditunjuk sebagai
ahli waris tunggal oleh krediturnya.
6. Pembebasan utang
Menurut pasal 1439 KUH Perdata, Pembebasan utang adalah suatu
perjanjian yang berisi kreditur dengan sukarela membebaskan debitur dari segala
kewajibannya.
7. Musnahnya
barang yang terutang
Adalah jika barang tertentu yang menjadi obyek perjanjian
musnah, tak lagi dapat diperdagangkan, atau hilang, hingga sama sekali tak
diketahui apakah barang itu masih ada, maka hapuslah perikatannya, jika barang
tadi musnah atau hilang di luar kesalahan si berutang dan sebelum ia lalai
menyerahkannya.
8. Batal/Pembatalan
Menurut pasal 1446 KUH Perdata adalah, pembatalan atas
perjanjian yang telah dibuat antara kedua belah pihak yang melakukan
perjanjian, dapat dimintakan pembatalannya kepada Hakim, bila salah satu pihak
yang melakukan perjanjian itu tidak memenuhi syarat subyektif yang tercantum
pada syarat sahnya perjanjian.
Menurut Prof. Subekti permintaan pembatalan perjanjian
yang tidak memenuhi syarat subyektif dapat
dilakukan dengan dua cara, yaitu:
· Secara
aktif menuntut pembatalan perjanjian tersebut di depan hakim;
· Secara
pembelaan maksudnya adalah menunggu sampai digugat di depan hakim untuk
memenuhi perjanjian dan baru mengajukan kekurangan dari perjanjian itu.
9. Berlakunya
suatu syarat batal
Menurut pasal 1265 KUH Perdata, syarat batal adalah suatu
syarat yang apabila terpenuhi, menghentikan perjanjian dan membawa segala
sesuatu kembali pada keadaan semula seolah-olah tidak penah terjadi perjanjian.
10. Lewat waktu
Menurut pasal 1946 KUH Perdata, daluwarsa atau lewat waktu
adalah suatu upaya untuk memperoleh sesuatu atau untuk dibebaskan dari suatu
perjanjian dengan lewatnya suatu waktu tertentu dan atas syarat-syarat yang
ditentukan oleh undang-undang.
Dalam pasal 1967 KUH Perdata disebutkan bahwa segala tuntutan
hukum, baik yang bersifat kebendaan, maupun yang bersifat perseorangan hapus
karena daluwarsa dengan lewatnya waktu tiga puluh tahun. Dengan lewatnya
waktu tersebut, maka perjanjian yang telah dibuat tersebut menjadi hapus.
G. Struktur Perjanjian
Struktur
atau kerangka dari suatu perjanjian, pada umumnya terdiri dari:
1. Judul/Kepala
2. Komparisi
yaitu berisi keterangan-keterangan mengenai para pihak atau atas permintaan
siapa perjanjian itu dibuat.
3. Keterangan
pendahuluan dan uraian singkat mengenai maksud dari para pihak atau yang lazim
dinamakan “premisse”.
4. Isi/Batang
Tubuh perjanjian itu sendiri, berupa syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan dari
perjanjian yang disetujui oleh pihak-pihak yang bersangkutan.
5. Penutup
dari Perjanjian.
H. Bentuk Perjanjian
Perjanjian dapat berbentuk:
1. Lisan
2. Tulisan,
dibagi 2 (dua), yaitu:
· Di bawah
tangan/onderhands
· Otentik
Daftar
Pustaka:
No comments:
Post a Comment